Pages

  • Beranda
  • Tumbuhan
  • Umum
  • Kuliner
  • Olah Raga

Rabu, 31 Juli 2013

Puasa dan Gerakan Mengikis Budaya Konsumtif

Seolah-olah ada daya yang saling tarik-menarik, saling mempengaruhi, proses kehidupan berjalan terus menerus saling berdampingan antara yang baik dan yang buruk, antara yang asli dan yang palsu, antara si kaya dan si miskin, antara yang manis dan yang jelek ataupun antara yang berkuasa dan rakyat jelata, bahkan antara kejahatan dan kebenaran, selalu berpasang-pasangan, maka disinilah peranan Agama, karena memang demikianlah kehidupan di Dunia yang fana ini, hanya saja bila Agama dikesampingkan maka cenderung akan terjadi limpahan pengaruh kepada keburukan, sehingga kebaikan akan tersisi dipojokan apabila kehidupan ini tidak dibarengi dengan tuntunan Agama yang benar.
Kadang-kala manusia lupa terhadap proses kehidupan di Dunia, seolah-olah satu-satunya kehidupan yang dinikmati semata-mata selama hayatnya di Dunia yang fana ini, namun berjalannya proses kehidupan kesadaran sering muncul pada waktu-waktu atau kondisi tertentu dari diri seseorang, sadar akan perlunya tuntunan hidup yang benar dan tidak menyesatkan, tentu bagi yang berakal sehat tidak ada lain tuntunan hidup yang lebih baik kecuali Al-Quran dan As-Sunnah yang dapat menuntun Manusia kejalan kehidupan yang lurus baik di dalam Dunia ini maupun kehidupan selanjutnya, Wallahu Alam, saya sebagai penyambung lidah dan dalam rangka belajar menulis Artikel, maka dibawah ini ada Artikel yang menarik untuk disimak, semoga bermanfaat.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry M Zein
Tidak terasa, sudah sepekan kita menjalankan ibadah puasa. Bukan tanpa godaan kita berpuasa di jaman modern saat ini. Berpuasa di jaman modern bukan sekadar menahan rasa lapar dan haus di siang hari.
Sebab, bagi sebagian besar godaan menahan rasa lapar dan haus di siang hari bukan termasuk dalam katagori ‘godaan jenis berat’ yang bisa membatalkan ibadah puasa. Namun tanpa kita sadari godaan terasa lebih dasyat adalah serangan budaya konsumerisme.
Menurut sejumlah cendekiawan, maraknya godaan budaya konsumerisme ini tidak terlepas dari perkembangan budaya kapitalisme yang menempatkan konsumsi sebagai titik sentral kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat. Masyarakat seakan-akan berlomba untuk menjadi manusia konsumtif, seperti berbuka puasa dengan hidangan yang berlimpah.
Perilaku ini tidak terlepas dari media massa. Iklan-iklan televisi, radio, media cetak termasuk iklan outdoor seakan-akan menghipnotis umat Islam untuk masuk dan menjadi manusia konsumtif.
Tidak percaya, coba nyalakan televisi, dipastikan kita akan melihat tayangan-tayangan iklan berbalut agama. Sebuah produk yang diproduksi dan ditawarkan spesial menyambut bulan suci Ramadhan, mulai sandang, pangan, hingga kartu telepon seluler sekalipun, termasuk hiburan seperti sinetron, musik, humor, dan ceramah pun sudah mulai tayang atas nama bulan suci Ramadhan. Kemudian muncullah istilah sinetron religi atau album religi para penyanyi maupun grup band yang selalu ditunggu para penggemarnya.
Melalui iklan di media elektronik berbagai komoditas yang diproduksi dengan sensibilitas keagamaan dilempar ke pasar. Tentu saja selama bulan puasa produk yang dibuat sudah dibalut dengan nuansa bulan suci Ramadhan.
Dan yang tidak kalah penting, sadar maupun tidak sadar, sesungguhnya di situlah terjadi proses penanaman semacam pembenaran atau ‘Islamisasi’ atas perilaku konsumtif umat Islam selama bulan puasa.
Tanpa kita sadari, umat Islam pada setiap Ramadhan tiba selalu diposisikan sebagai konsumen potensial untuk meraup keuntungan bisnis. Perkembangan kapitalisme global membuat, bahkan memaksa umat Islam pada suatu kondisi dimana seolah-olah ‘hasrat’ mengkonsumsi lebih diutamakan. Sepertinya ibadah puasa nantinya kurang sempurna jika tidak mengkonsumsi makanan serta minuman tertentu atau segala yang disodorkan oleh media dan iklan dengan mengatasnamakan agama.
Nafsu manusia memang seperti air. Tidak pernah terhenti untuk selalu mengalir. Namun bukan berarti kita tidak bisa menahannya. Ada baiknya kita mendengarkan kisah Khalifah Umar bin Khathab. Suatu ketika Umar pernah menghukum Amru bin Ash, sang gubernur Mesir kala itu yang berbuat semena-mena terhadap seorang rakyatnya yang miskin.
Seorang gubernur yang bertugas di Hamash, Abdullah bin Qathin pernah dilucuti pakaiannya oleh Umar. Sang khalifah menyuruh menggantinya dengan baju gembala. Bukan itu saja, si gubernur diminta menjadi penggembala domba sebenarnya untuk beberapa saat. Hal itu dilakukan Umar karena sang gubernur membangun rumah mewah buat dirinya.
“Aku tidak pernah menyuruhmu membangun rumah mewah!” ucap Umar begitu tegas.
Esensi puasa Ramadhan juga memberikan nilai ajaran agar orang yang beriman dan bertakwa mengikuti tuntunan Nabi saw yang hidupnya sangat sederhana. Dalam sebuah hadist, Rasulullah juga bersabda, “Berhentilah kamu makan sebelum kenyang.”
Di bagian lain Nabi saw mencontohkan, “berbuka puasalah kamu dengan tiga butir kurma dan seteguk air minum setelah itu bersegeralah salat magrib.” Itu artinya, puasa Ramadhan bukan sekadar menahan rasa lapar dan haus tetapi juga menahan nafsu dan keinginan hedonistis. Karena itu, semoga di bulan Ramadhan ini, kita bisa mengambil hikmah untuk bisa menjalankan hidup sederhana. Aamiin.

Redaktur : Heri Ruslan